Rss Feed
  1. Senandung Maret

    Friday, October 19, 2012


    Aku mengencangkan ikatan celemek di punggungku. Kurapikan rambutku di cermin dan kuamati apakah penampilanku sudah oke saat itu. Setelah yakin semuanya tampak rapi, aku segera turun ke lantai bawah.
                
    Begitu lampu kunyalakan, deretan meja dan kursi yang sengaja diletakkan terbalik di atas meja segera menyambutku. Aku menarik napas panjang. Mari kita mulai, batinku.
                
    Kutuangkan biji kopi ke dalam mesin pembuat kopi, lalu setelah kutuangkan air ke dalamnya dan menyalakan mesin itu, aku lalu menurunkan kursi-kursi dari atas meja.
               
    Setelah beberapa saat bau kopi mulai menyeruak ke udara. Aku menghirup keharuman itu dalam-dalam. Betapa aku menyukai apa yang kuhirup itu. Bagiku aroma kopi adalah aroma kebebasan.
                
    Dua tahun yang lalu, aku tidak pernah bisa membayangkan diriku berada di tempat seperti ini. Tempat yang kumiliki sendiri dengan aroma kopi yang tidak membuatku takut karena menandakan datangnya hari baru. Datangnya satu hari lagi mimpi buruk.
                
    Tanpa sadar tanganku menyentuh lengan kiriku. Ketika kuselusupkan tanganku ke dalam lengan bajuku dan dapat kurasakan bekas jahitan di sana. Sebuah kenang-kenangan dari masa lalu. Sebuah harga untuk kebebasan.
               
    Aku masih ingat bagaimana Albert pulang malam itu dalam keadaan mabuk. Dari tubuh pria yang enggan kusebut suamiku itu, aku dapat mencium bau parfum perempuan. Itu bukan yang pertama kalinya aku mencium wangi itu. Biasanya aku menahan diri untuk tidak menanyakanya karena aku takut akan apa yang dapat dia perbuat, tapi hari itu aku sudah tidak tahan lagi. Semuanya keluar begitu saja dari dalam hatiku.
                
    “Lalu memangnya kenapa kalau aku ada main dengan wanita lain!?” seru Albert berang. “Aku yang mencari uang untuk menghidupimu, kalau sekali-sekali aku bersenang-senang di luar sana, kamu mau apa hah?”
                
    “Tapi aku istrimu, Mas. Apa kamu sudah tidak menghargai aku lagi? Sudah tidak menghargai rumah tangga ini lagi?”
               
    Sebuah tamparan keras mendarat di pipiku. Aku jatuh bersimpuh di atas lantai saking kerasnya tamparan itu. Satu tendangan mendarat di perutku, membuatku jatuh terlentang. Pria keparat itu lalu menginjak dadaku kuat-kuat hingga aku memekik kesakitan.
                
    “Heh, ingat, aku menikahimu bukan karena aku mau. Kalau dulu ayah tidak mengancam akan menghapus bagian warisanku, aku tidak akan menikahimu.”
               
    Air mata mengalir di pipiku. Dadaku dipenuhi amarah dan seluruh duniaku terasa begitu gelap. Aku sudah tidak tahan lagi. Hal berikutnya yang kusadari, pria itu telah tergeletak di lantai dengan kepala berdarah dan pecahan vas bunga di tanganku.
               
    Napasku tersengal-sengal. Oh, Tuhan. Apa yang kulakukan? Kuperiksa tubuh itu, tapi aku tidak merasakan detak jantungnya.
                
    Aku tidak bersalah. Pria ini, dia mendapatkan apa yang pantas baginya. Cepat-cepat aku pergi ke dapur dan mengambil sebilah pisau. Kugenggamkan pisau itu di tangan Albert dan kutorehkan pisau itu kuat-kuat ke tangan kiriku. Aku menjerit.
               
    Pemeriksaan polisi akhirnya menyatakan bahwa aku membunuh pria itu dalam usahaku membela diri. Dari uang peninggalan pria itu jugalah, aku akhirnya dapat membuka café ini. Tempat yang menjadi surgaku saat ini.
                
    Aku membuka pintu café dan kurasakan angin hangat berhembus di pipiku. Salju sudah mulai mencair dan kehidupan kembali bangkit dari dalam bumi. Aku bisa mendengar Maret bersenandung di telingaku. 

  2. 0 comments :

    Post a Comment