Rss Feed
  1. Seorang Pengemis

    Tuesday, October 23, 2012

     Seorang pengemis duduk di atas hamparan tanah berumput di taman kota. Ada tanda “Dilarang duduk di atas rumput” tidak jauh darinya, tapi dia tidak peduli. Dia tetap bergeming pada tempatnya, walau dia sadar akan keberadaan tanda larangan itu. Lagipula, toh tidak akan ada orang yang peduli apakah dia duduk di atas rumput sat ini atau tidak.
                
    Matanya memandang lurus ke depan, mengamati orang-orang yang ada di taman itu. Dia melihat seorang ibu yang tengah berusaha mendiamkan anaknya yang rewel. Ah, kasihan ibu itu. Dia tampak kerepotan. Si pengemis itu lalu teringat pada ibunya sendiri. Sudah berapa lama dia tidak melihat ibunya? Mungkin sudah lebih dari 30 tahun yang lalu.
                
    Ibunya wanita yang begitu baik, berusaha keras membesarkannya dan kedua adiknya sejak ayahnya meninggal. Sayang wanita sebaik itu begitu cepat Tuhan panggil pulang. Ibunya meninggal ketika dia berada di awal usia 20-an. Mengingat ibunya, sang pengemis merasa rindu sekaligus sedih. Dia sedih memikirkan bagaimana ibunya pasti akan menangis kalau melihat dirinya saat ini.
                
    Dia memandang kaki kirinya yang kini hanya tersisa lutut ke atas. Dia lalu menoleh pada tangan kanannya yang kini hanya tersisa separuh dan mulai menangis. Air mata bahagia mengalir dari matanya.
                
    Dia bahagia karena apa yang begitu menyiksanya di dunia ini kini akan segera berakhir.
                
    “Kamu sudah siap? Mari kita pergi,” kata sebuah suara.
                
    Sang pengemis mengangguk. “Ya, Pak Malaikat. Mari kita pergi.”

  2. 0 comments :

    Post a Comment