Rss Feed
  1. If You CouldIf You Could by Cynthia Febrina
    My rating: 2 of 5 stars

    Judul: If You Could
    Penulis: Cynthia Febrina
    Penerbit: Elex Media Komputindo
    Halaman: 200 halaman
    Terbitan: Juni 2014

    Menerima tidaklah sesederhana itu… Coba saja, Memangnya kamu bisa begitu saja menerima keadaan? Menerima kelemahan orang lain? Menerima hidup yang tidak sesuai keinginanmu?

    Menerima itu kadang menjadi sangat kompleks. Barang kali dunia memang menunggu versi lain dirimu. Kamu yang tanpa sakit hati? Kamu yang tanpa benci? Kamu yang bahagia? Jadi, jika kebahagian itu datang hanya dengan menerima, lantas mengapa harus menolak?

    Review

    Novel dengan kover yang mengeluarkan aura ayo-belilah-aku. Setelah membaca satu ulasan di Goodreads yang berimbang tentang buku ini, saya memutuskan untuk membeli novel ini. Tidak tanggung-tanggung, saya memutuskan untuk mencoba membeli buku elektroniknya lewat Scoop :)).

    "If You Could" bercerita tentang Riana, seorang ibu, istri, dan editor fiksi di sebuah penerbitan. Merasa jengah dengan novel-novel "kosong" yang lebih mengutamakan "daya jual" (alias berapa banyak follower Twitter si penulis) yang banyak terbit belakangan, Riana memutuskan untuk menyetujui suatu novel karya penulis pemula yang mengangkat tema tidak biasa.

    Dengan bantuan Tyo, rekan sekantornya, Riana mempersiapkan segala sesuatu untuk meyakinkan atasannya untuk menerbitkan buku tersebut. Dari sinilah pembaca diajak menyusuri masa lalu Riana-Tyo, hubungan keluarga Riana, serta hubungan Riana dan suaminya yang sering bertugas ke luar negeri.

    Sejujurnya saya cukup punya harapan akan novel ini, tapi kelihatannya tebalnya yang hanya 200 halaman kurang cukup untuk mengeksplorasi ceritanya secara keseluruhan.

    Jujur dari awal sampai 3/4 buku, saya merasa emosi ceritanya datar-datar saja. Cuma ada sekali saya bisa merasa emosinya naik (atau setidaknya emosi saya yang naik). Waktu adiknya Riana membanting novel-novel yang sedang Riana baca hingga buku-bukunya terpercik air. Sedih banget buku-bukunya diperlakukan seperti itu. *salah fokus.

    Dugaan saya sih, mungkin karena gaya bertutur penulisnya yang banyak menggunakan "tell". Bahkan saat rahasia salah satu tokoh terungkap, ceritanya hanya diberitahukan sepintas lalu. Saya sampai bolak-balik halaman karena mengira saya kelewatan adegannya, tapi ternyata memang adegan itu tidak ada. Cuma lewat cerita doang.

    Barulah di 1/4 bagian terakhir, saat penelusuran masa lalu Riana sudah selesai, saya baru bisa betul-betul menikmati novel ini. Emosinya jauh lebih terasa.

    Sayangnya setelah selesai membaca, saya merasa ada beberapa hal yang masih kurang. Seperti: bagaimana perasaan Evan saat Tyo menikahi Andra? Novelnya kan pakai POV serba tahu. Kenapa tidak ditunjukkan? dan juga soal Tyo yang ternyata mengidap AIDS di akhir buku. Terlalu tiba-tiba. Lalu bagaimana nasib Andra? Mereka kan sudah menikah. Berarti ada hubungan badan dong? Apa Andra juga tertular? Bagaimana reaksi Andra akan hal ini? Saya tidak menemukan jawabannya.

    Secara keseluruhan: novel dengan cerita yang punya potensi. Hanya saja agak kurang tergali. Entah tuntutan penerbit supaya halamannya tipis, entah karena faktor penulisnya. Gaya narasinya lumayan bagus. Mungkin Inglish, Indonesia-English, bisa dikurangi. Penulisnya jauh lebih mahir dalam mengolah bahasa Indonesia yang mengalir.

    Buku ini untuk tantangan baca:
    - 2014 New Authors Reading Challenge


    View all my reviews

  2. 0 comments :

    Post a Comment