Rss Feed
  1. Cinta Pertama - Bagian Empat

    Monday, May 25, 2015



    Lanjutan cerita dari Octaviani Nurhasanah di blog http://octavianinurhasanah.net/




    Arsenius Kuntowijoyo. Itu aku. Arsenius berarti ‘jantan’. Ayah yang memberikan nama itu, dengan doa agar aku akan tumbuh menjadi laki-laki penerus nama dan usaha beras cap Kuntowijoyo. Tapi, kurasa, hanya satu dari dua harapan itu yang akan terpenuhi.

    Bicara soal nama sebagai doa, ada satu orang lagi yang tampaknya jauh dari harapan orangtuanya. Namanya Putri, temanku sejak kecil. Aku ingat pernah bicara dengan ibunya. Tante waktu itu bilang, dia memberi nama Putri dengan harapan agar anaknya tumbuh menjadi seorang gadis yang elegan.

    Put, itu baju kamu ada robeknya di bagian belakang. Besar pula. Ganti sana. Masa keluar pakai baju kayak gitu.

    Berperilaku baik.

    Putri! Jangan lari kamu! Kamu lompat pagar lagi hari ini karena telat, kan? Putri! Tunggu!

    Serta anggun.

    Put, kalau makan itu, nggak perlu disuapin ke baju. Itu kemeja sampai penuh noda kecap.

    Belakangan ini ada perubahan yang terjadi pada dirinya. Dia berusaha tampil lebih rapi. Dia juga lebih kalem. Awalnya kukira dia kesambet, ternyata alasannya lebih klasik. Cowok.

    “Sen, ini bajunya sudah oke, kan?” tanya Putri.

    Aku mengamatinya sekali lagi. Sebuah atasan tanpa lengan warna biru tua, serta rok garis-garis putih-biru tua yang panjangnya sedikit melewati lutut.

    “Bagus. Percaya, deh,” jawabku.

    Ini hari besar baginya. Setelah cukup lama berusaha mendekati Banu, Putri akhirnya memutuskan untuk maju duluan dan menyatakan perasaannya. Dia meminta bantuanku untuk menyiapkan penampilan terbaik untuknya.

    Saat sudah selesai, Putri meninggalkan rumahku dan pergi ke tempatnya janjian dengan Banu. Aku melirik ponselku. Sore ini juga hari besarku.

    Jam 15.00, kukeluarkan sepedaku dan kukayuh ke ‘Kafe Rakyat’, tempat nongkrong yang baru dibuka dan langsung jadi favorit di desa yang semakin terasa seperti kota kecil ini. Di sana Karin menunggu jawabanku.

    Dia memintaku menjadi pacarnya seminggu yang lalu.

    Karin sudah ada ketika aku sampai. Dia tersenyum saat melihatku duduk. Aku bisa merasakan kegugupannya. Perutku sendiri mulai terasa bergejolak.

    “Mau pesan apa?”

    Aku menggeleng. Lebih baik aku melakukan ini secepat mungkin. “Karin, aku tidak bisa jadi pacarmu.”

    Karin tertegun. Senyum di wajahnya lenyap. “Kenapa?”

    “Kamu tahu alasannya,” kataku. “Aku berniat pergi dari sini setelah lulus.”

    Aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku bercita-cita menjadi seorang desainer pakaian. Mungkin orang-orang akan berpikir kalau aku gay atau semacamnya karena impianku ini, tapi tidak begitu. Toh, tidak semua desainer cowok itu gay. Ralph Lauren atau Roberto Cavalli misalnya. Mereka menikahi wanita. Aku suka pada wanita. Aku suka membuat pakaian yang dapat membuat mereka tampak lebih indah.

    Pakaian Putri hari ini adalah kreasiku. Mungkin hanya Putri, Karin, dan Ibu yang tahu tentang keahlianku ini. Aku yakin Ayah tidak akan setuju dengan pilihanku. Gaya berpikirnya... masih sedikit kuno. Baginya membuat pakaian adalah ‘pekerjaan perempuan’, atau orang yang kepepet biaya hidup.

    “Jahat. Padahal kamu bilang akan berjuang untuk mendapatkanku.”

    “Karin—”

    Karin berdiri, lalu berlari meninggalkanku seorang diri. Karin, aku menyukaimu, tapi aku tidak yakin tentang ‘kita’ untuk saat ini. Jalan yang kuambil akan sulit untuk dilalui. Aku tidak mau kamu menunggu tanpa harapan yang pasti.

    Ponselku bergetar. Aku tersentak dan menariknya keluar dari saku. Pesan dari Putri. Aku membukanya dan tertegun saat membaca SMS-nya.




    Cerita dari perwakilan #TimCintaPertama di online festival #LoveCycle Gagas media.

    Simak kelanjutan ceritanya di http://rajabalmukarrom.blogspot.com/ oleh Rajab Almukarrom

  2. 0 comments :

    Post a Comment